Seringkali kita mendengar bahkan melihat sendiri terjadinya keributan antar umat beragama akibat dari munculnya bangunan rumah ibadat yang didirikan dengan tidak memperhatikan prosedur dan peraturan sebagaimana yang diatur dalam PBM no 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah /Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama; Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama; Dan Pendirian Rumah Ibadat.
Salah satu pemicu terjadinya konflik horisontal yang diakibatkan oleh munculnya bangunan rumah ibadat adalah karena para pendirinya tidak mendahulukan komunikasi dengan baik kepada masyarakat setempat melalui para tokoh masyarakat (Tomas) atau tokoh agama (Toga) yang ada disekitar bangunan rumah ibadat tersebut.
Jika jalinan komunikasi antar umat beragama terlaksana dengan baik dan keadaan jumlah pengguna dan pendukung berdirinya rumah ibadat tersebut sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam PBM no 9 dan 8 tahun 2006 khususnya pada pasal 16. 1; Pasal 14.1; 14. 2a dan 14.2b; maka di manapun rumah ibadat itu didirikan tidak akan memancing keributan. Dan jika muncul persengketaan akibat dari ketidak pahaman terhadap aturan maka penyelesiannya akan menjadi muda jika masing masing pihak memiliki kesadaran untuk patuh terhadap aturan.
Dalam hal ini yang tidak kalah penting adalah adanya sikap toleransi. Sikap toleran dan intoleran juga harus sama sama diselaraskan dengan aturan yang dipedomani bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; tentunya dengan merujuk pada PBM no 9 dan 8 tahun 2006 yang merupakan turunan dari UUD 1945 pasal 29 tentang kebebasan warga negara memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Salah satu contoh yang penting diteladani adalah kisah berdirinya masjid agung Nurussaadah di Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bersiri ditengah mayoritas pemeluk agama katolik.
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, jumlah penduduk Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 5,48 juta jiwa pada Juni 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2,94 juta jiwa atau 53,61% beragama Katolik. Sebanyak 1,98 juta jiwa atau 3,68% beragama Kristen. 517,74 ribu jiwa atau 9,44% beragama Islam. 5,87 ribu jiwa atau 0,11% beragama Hindu. 384 jiwa atau 0,01% beragama Buddha. 32 jiwa beragama Konghucu. Sementara, ada 35,88 ribu jiwa atau 0,65% penduduk NTT yang menganut aliran kepercayaan. Sekali lagi; dengan keragaman beragama yang ada; masyarakat di Kupang NTT tetap menghargai nilai nilai kerukunan yang telah dijaga dan diwariskan para leluhur kepada generasi penerusnya.
Pada tahun 1962 umat islam mendirikan masjid agung Kupang NTT diatas luas tanah 3.419m2. Tanah tersebut berasal dari pemberian hibah seorang bupati yang beragama katholik bernama W.C.H. Oematan. Bantuan yang diberikan tidak hanya berupa tanah; ia juga menyumbang dana 50.000.000 (tahun 62an tentu cukup besar nilainya) untuk modal awal pembangunan serta berharap kepada umat islam untuk menggalang dana sendiri demi kelanjutan proses pembangunan masjid ini sampai selesai. Nilai kerukunan yang sangat mahal ditampakkan masyarakat sekitar baik yang beragama katholik maupun kristen bersama umat islam . Mereka semua terlibat proses pengurugan dan perataan lahan tanah yang semula menjurang sehingga elevasi tanah masjid dengan jalan raya menjadi seimbang ketinggiannya. Berkat kerukunan dan kerjasama antar umat beragama ini masjid agung Nurussaadah Kupang NTT telah berdiri dengan kokoh ditengah keharmonisan dan kedamaian masyarakatnya.
No responses yet